Jumat, 07 Oktober 2011

Nuzulul Qur’an

Al-Quran adalah nama khusus bagi kalam Allah swt. Ia tidak diambil dari pecahan kata Qiraa’ah tetapi merupakan nama bagi kitab Allah sebagaimana Taurat dan Injil. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia berasal dari pecahan kata Qaraa’in, sebab ayat-ayatnya antara satu dan yang lainnya saling membenarkan  dan memiliki kesamaan (Qaraa’in).

Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Sebagaimana firman-Nya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembedaan (antara yang hak dan yang batil…” (QS.Al-Baqarah:185).
Mengenai Cara-cara (kaifiat) penurunan Al-Quran ini, para ulama berbeda pendapat :
Pertama dan yang paling benar adalah : Allah swt menurunkan Al-Quran dari Lauwhil-Mahfuudz ke langit dunia pada malam lailatul Qadr secara sekaligus. Kemudian diturunkannya secara bertahap selama 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun, sesuai perbedaan pendapat tentang masa tinggal Rasulullah saw di Makkah setelah kenabian.
Kedua : Allah swt menurunkannya ke langit dunia dalam 20 atau 23 atau 25 kali pada malam lailatul Qadr, sesuai perbedaan pendapat tentang masa tinggal Rasulullah saw di Makkah setelah kenabian. Ia diturunkan pada setiap malam lailatul Qadr sesuai jumlah yang telah ditetapkan oleh Allah swt dalam setiap tahun penurunannya, kemudian setelah itu diturunkan secara bertahap.
Ketiga : penurunannya dimulai pada malam lailatul Qadr kemudian setelah itu diturunkan secara bertahap sepanjang masa penurunannya.
Keempat : Al-Quran diturunkan dari Lauwhil-Mahfuudz secara segaligus, dan bahwa para penjaganya mengangsurnya kepada Jibril selama 20 malam, kemudian Jibril menurunkannya kepada Muhammad saw selama 20 tahun.
Rahasia dibalik penurunan Al-Quran secara bertahap sesuai dengan firman Allah swt “Berkatalah orang-orang kafir:” Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali saja?”. Demikianlah kami menurunkannya secara bertahap supaya kami perkuat hatimu dengannya…”.(QS.Al-Furqan:32).
Yakni untuk meneguhkan hati Rasulullah saw, sebab apabila wahyu senantiasa datang dalam setiap peristiwa maka hal ini akan lebih menguatkan hati dan memberikan perhatian yang lebih bagi penerimanya. Dengan cara ini pula maka Jibril as akan berkali-kali turun kepadanya sehingga menimbulkan kegembiraan di hati Rasulullah saw. Karena itu, saat yang dirasakan paling membahagiakan bagi Rasulullah saw ialah pada bulan Ramadhan, sebab di bulan inilah Rasulullah saw banyak bertemu dengan Jibril as.
Sebagian ulama mengartikan “Supaya kami perkuat hatimu dengannya” yakni supaya kamu dapat menghafal-nya, sebab beliau saw adalah seorang yang Ummiy yang tidak dapat membaca dan menulis. Allah menurunkannya secara bertahap agar Rasulullah saw mudah menghafalkannya.
Selain itu juga untuk memudahkan penerimaannya, mengingat pentahapan hokum yang terdapat di dalamnya. Berbeda jika Al-Quran diturunkan secara sekaligus, maka akan menyulitkan banyak orang karena banyaknya kewajiban dan larangan di dalamnya. Dari Aisyah ra, ia berkata:”pertama-tama yang diturunkan ialah surat dari kelompok Mufasshal (yang pendek-pendek), di dalamnya terdapat sebutan surge dan neraka, sehingga ketika mereka sudah mantap keislaman dan keimanannya maka turunlah masalah halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun janganlah meminum khamar, maka niscaya mereka akan mengatakan: kami tidak akan meninggalkannya selama-lamanya. Seandainya yang turun pertama kali : Janganlah kamu berzinah, niscaya mereka akan mengatakan: kami tidak akan meninggalkan zina sama sekali”. (HR:Bukhari).
Dari hadis-hadis Nabawi dapat diketahui bahwa Al-Quran diturunkan sesuai kebutuhan. Kadang-kadang diturunkan lima ayat atau kadang sepuluh ayat atau lebih sedikit dan lebih banyak lagi dari itu.
Suatu masalah yang pernah menimbulkan fitnah di tengah kaum muslimin pada masa pemerintahan Abbasiah. Adalah kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah mahluk, sehingga mereka menjadi ujian bagi para ulama pada masa itu.
Imam Ahmad bin Hanbal terpaksa harus mengalami berbagai penyiksaan karena ia tidak mau terlibat dalam pembicaraan masalah ini. Beliau hanya mengatakan : “Al-Quran adalah kalam Allah swt yang diturunkan”. Dalil para ulama mengatakan bahwa Al-Quran bukan mahluk ialah bahwa Allah menyebutkan “manusia” di dalam delapan belas tempat dan dijelaskan-Nya bahwa ia adalah mahluk. Tetapi ia menyebutkan al-Quran di dalam 54 tempat tanpa menyebutkannya sebagai mahluk.
Para ulama Ahlus-sunnah wal jamaa’ah sepakat bahwa kalam Allah SWT itu Munazzal (diturunkan). Tetapi mereka berbeda pendapat tentang pengertian “Penurunan” tersebut. Sebagiannya mengartikannya dengan : Menjelaskan bacaan. Sebagian yang lain mengartikan : bahwa Allah swt mengilhamkan kalam-Nya kepada jibril dari langi, diajarkan-Nya bacaannya, kemudian Jibril as menunaikannya di suatu tempat di bumi.
Ada dua cara penurunan (tanzil) :
Pertama : Nabi saw keluar dari dimensi fisik manusiawinya dan memasuki dimensi ruhani malaikat kemudian menerimanya dari Jibril as.
Kedua : Malaikat Jibril keluar dari dimensi ruhani malaikatnya dan memasuki dimensi fisik manusiawi kemudian Rasulullah saw menerima darinya. Cara pertama dirasakan paling berat bagi Nabi saw.
Imam Az-Zuhri pernah ditanya tentang wahyu, kemudia beliau menjawab: “Wahyu ialah kalam Allah swt yang disampaikan kepada salah seorang Nabi-Nya kemudian dikukuhkan-Nya ke dalam hatinya, lalu dia menyatakan bahwa itu adalah wahyu dan ditulisnya”. Disamping itu ada wahyu yang tidak dinyatakan bahwa itu adalh wahyu juga tidak ditulisnya kepada seseorang atau diperintahkan menulisnya tetapi ia berbicara dengan wahyu tersebut kepada orang lain dan dijelaskannya bahwa Allah memerintahkannya agar menjelaskannya kepada orang dan menyampaikannya kepada mereka.
Yang pertama adalah Al-Quran dan yang kedua adalah Sunnah. Keduanya adalah wahyu dari Allah swt. Perbedaannya ialah bahwa al-Quran itu arti dan lafadznya dari Allah tetapi Sunnah hanya artinya saja yang datang dari Allah.
Para ulama menyebutkan beberapa kaifiat penyampaian wahyu :
Pertama : Malaikat Jibril datang kepada Nabi saw dengan diiringi seperti bunyi lonceng. Cara ini paling berat dirasakan oleh Nabi. Dari Abdullah bin Umar ra berkata: “Aku pernah bertanya kepada Nabi saw, adakah engkau merasakan wahyu? Nabi saw menjawab: Aku mendengar bunyi loncengkemudian pada saat itu aku terdiam. Tidaklah diwahyukan kepadaku melainkan aku menyangka bahwa nyawaku sedang diambil”. (Riwayat Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya).
Kedua : Disampaikan perkataan ke dalam hati dan akalnya, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi saw :”Sesungguhnya Ruh Al-Quds memasukkan perkataan ke dalam hati dan akalku.” (HR:Al-Hakim).
Ketiga : Jibril datang kepadanya dalam bentuk manusia kemudian menyampaikan wahyu kepadanya sebagaimana dijelaskan dalam hadis shahih : “Dan kadang-kadang malaikat Jibril menjelma sebagai seorang lelaki yang datang kepadaku kemudian ia menyampaikannya kepadaku lalu akupun memahmi dengan apa yang diucapkannya”. Cara ini paling Judah bagi Rasulullah saw.
Keempat : malaikat datang padanya di dalam tidur (mimpi) kemudian ia menyampaikan ayat-ayat.
Kelima : Allah berfirman kepadanya baik dalam keadaan terjaga sebagaimana terjadi di malam Isra’, ataupun di dalam tidur sebagimana dijelaskan dalam hadis Mu’adz :”Rabbku datang kepadaku kemudian berfirman: apa yang dipertentangkan oleh para malaikat itu”.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: “Adalah Rasulullah saw apabila wahyu turun kepadanya, terdengar suara gemertak di kepalanya, berubah warna mukanya, gigi-giginya menjadi dingin dan mengeluarkan keringat sehingga menetes darinya seperti biji-bijian”.
Para ulama berbeda pendapat tentang bagian Al-Quran yang pertama kali diturunkan : Pertama dan yang paling kuat : Iqra’ sampai ayat yang kelima. Ini sesuai dengan riwat Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra.
Kedua : Surah Yaa Ayyuhal mudatsir. Pada hakikatnya surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan secara sempurna. Untuk memadukan antara dua pendapat ini, para ulama mengatakan :”Yang pertama kali turun menyatakan kenabian adalah Iqra’ dan yang pertama kali menyatakan kerasulan adalah Al-mudattsir.
Ketiga : Al-Faatihah
Keempat : Bismillahir rahmaanir-rahiim.
Sebagian besar surah-surah Al-Quran diturunkan secara terpisah, diantaranya surah Al-‘Alaq (Iqra’). Dan kadang sebuah ayat diulang-ulang penurunannya untuk peringatan dan nasehat.

Bro…untuk lebih lengkapnya..baca kitab Al-Itqaan fii ‘Uluumil Qur’aan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuuthi. OK


Sujud Malaikat dan Kesombongan Iblis
Manusia yang kepadanya para malaikat bersujud adalah Adam. Iblis menolak untuk bersujud kepadanya karena ia merasa lebih tinggi derajatnya, ia diciptakan dari apai sementara Adam dari tanah. Iblis pun lalu diusir dari surge, namun sebelum ia pergi, ia memohon kepada Allah untuk dipanjangkan umurnya sampai hari kiamat agar ia dapat menyesatkan anak cucu Adam. Iblis sendiri mengecualikan orang-orang yang mukhlash dari godaanya. Allah mengabulkan permintaannya dan menyatakan bahwa yang dapat disesatkan hanyalah orang-orang yang mengikutinya.
Di tempat lain dinyatakan bahwa orang yang sesat itu cenderung kepada kehidupan duniawi – Akhlada ilal ardh – dan menuruti hawa nafsunya sehingga tidak mau berpegang pada ayat-ayat Allah. Kalau saja ia mau berpegang dengannya niscaya Allah akan mengangkatnya ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi dari sekedar mahluk di bumi.
Bacakanlah kepada mereka berita yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudian ia meleppaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti setan maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Kalau kami menghendaki pastilah kami angkat derajatnya dengan ayat-ayat itu tetapi ia cenderung kepada bumi dan menuruti hawa nafsunya..” (QS:Al-A’raf:175-176).
Ada beberapa hal yang menarik perhatian di sini. Pertama, penolakan iblis untuk bersujud kepada Adam disebabkan bahwa yang terakhir ini terbuat dari tanah. Kedua, orang-orang yang bisa disesatkan oleh iblis adalah mereka yang cenderung kepada tanah. Ketiga, yang dapat selamat dari godaan iblis adalah orang-orang yang mukhlash. Keempat, orang-orang yang mengindahkan ayat-ayat Allah akan diangkat derajatnya.
Kata mukhlash ini perlu sedikit dibicarakan. Dalam Al-Quran dan terjemahannya, kata Mukhlash diterjemahkan dengan Mukhlish yakni orang-orang yang diberi taufik untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah swt. Memang kata mukhlashin dalam ayat di atas dapat juga dibaca dengan mukhlishiin. Menurut kamus Lisanul Arab, kata mukhlis berarti orang yang mentauhidkan Allah dengan setulus-tulusnya.
Diantara makna-makna yang terkandung dalam akar kata Khalasha adalah bersih, suci dan selamat, tambahan Hamzah memberikan pengertian yang transitif, maka kata akhlasha berarti membersihkan, mensucikan dan menyelamatkan. Oleh karena itu, kata mukhlashin dapat pula diartikan dengan orang-orang yang dibersihkan, disucikan dan diselamatkan. Kalau dihubungkan dengan ayat di atas, kata ini bisa menunjukkan arti orang-orang yang dibebaskan dan diangkat dari tanah, sehingga tidak lagi cenderung lagi kepadanya. Jadi orang-orang yang tidak dapat digoda oleh iblis adalah orang-orang yang dibebaskan dari kecenderungan kepada kehidupan duniawi yang konon karena kecenderungan inilah iblis tidak mau bersujud kepada Adam.
Sujud para malaikat kepada Adam merupakan lambing keunggulan manusia atas makhluk-makhluk lain. Malaikat yang merupakan makhluk tertinggi pun tunduk kepada Adam, apalgi makhluk-makhluk lain yang berada di bawah mereka. Hal ini didukung oleh pernyataan Al-Quran bahwa makhluk-makhluk itu diciptakan untuk manusia atau ditundukkan oleh Allah kepadanya atau diperuntukkan baginya.
Bumi dijadikan hamparan atau tempat menetap dan langit sebagai atap yang kokoh bagi manusia. Air diturunkan dari langit, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang berbuah, ini merupakan rizki dari Allah bagi manusia. Anak-anak Adam dimuliakan allah, dimudahkan perjalanan mereka di darat dan di laut, diberinya rizki yang baik dan dilebihkannya atas banyak makhluk yang diciptakannya.
Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami berikan mereka rizki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas banyak makhluk yang telah kami ciptakan” (QS.Al-Isra’:70).
Kata Katsiir (banyak) dalam ayat ini diterjemahkan dengan “kebanyakan” dalam Al-Quran dan terjemahannya. Ini didukung ayat-ayat yang telah disebut tentang penciptaan makhluk-makhluk Allah yang lain untuk kepentingan manusia. Manusia juga diciptakan dengan sebaik-baik bentuk walaupun kemudian dikembalikan ke derajat yang terendah. Pengembalian ke derajat terendah ini menghilangkan kualitas keunggulannya atas makhluk-makhluk lain. Perkecualian hanya untuk orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.
Al-Baidawi tidak setuju dengan penafsiran kata Katsiir di atas dengan Kullu (semua). Penafsiran seperti ini, katanya , terlalu dipaksakan. Yang dikecualikannya dalam hal ini adalah jenis malaikat atau individu tertentu dari jenis ini. Juga dikatakannya bahwa dilebihkannya jenis manusia atas jenis lain tidak berarti dilebihkannya seluruh individu manusia atas individu-individu jenis lain.



Tolak Ukur Keimanan
Orang-orang yang mengaku beriman tidak perlu sulit-sulit untuk mengetahui dan menilai kadar keimanannya, Ia cukup mengukurnya dengan shalat subuh.
Untuk mengetahui apakah dirinya termasuk jujur dalam beriman atau berdusta, ataukah ia beriman di atas keikhlasan atau riya’. Nabi bersabda:” Batas antara kita dengan orang-orang munafik adalah menghadiri shalat Isya dan Subuh, sebab orang-orang munafik tidak sanggup menghadiri kedua shalat tersebut” (Imam Malik dalam Al-Muwathha’).
Dalam hadis yang lain :”Shalat terberat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya dan Subuh. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala pada kedua shalat tersebut tentu mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak” (HR.Ahmad).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar berkata :”Apabila kami kehilangan seseorang dalam shalat subuh dan Isya maka kami berprasangka tidak baik kepadanya”.
Buruk sangka kepada orang yang tidak ikut serta dalam shalat ini, tidak lain karena keduanya adalah tolak ukur kejujuran dan keimanan seseorang, dan barometer untuk mengukur sejauh mana keikhlasannya dalam beribadah. Sebab untuk selain dua shalat ini, mudah saja dilakukan oleh setiap orang, mengingat waktunya bertepatan dengan suasana beraktivitas dan terjaga. Sedangkan shalat Subuh dan Isya yang mampu memelihara pelaksanaannya secara berjamaah hanyalah orang-orang yang mantap dan jujur yang tidak mengharapkan apapun kecuali keridhaan Allah swt.
Meskipun demikian perlu diketahui, ukuran keimanan yang dipakai kaum salafu shalih bukan terbatas pada shalat subuh saja tetapi ada ukuran yang lebih detail lagi. Adakalanya seseorang dari mereka melaksanakan shalat-shalat wajib secara berjamaah, giat shalat malam, menghadiri majlis-majlis ilmu yang langsung disampaikan oleh Rasulullah saw tetapi ketika ia kembali ke rumahnya lalu mencium istri mislanya atau bercengkrama penuh cinta dengan anak-anaknya padahal ini adalah hal yang lumrah namun ia merasa dirinya munafik. Inilah yang mendorong seorang sahabat bernama Handzalah pada suatu hari ia datang kepada Rasulullah dan berkata :”Handzalah telah berbuat munafik ya Rasulullah. Nabi bertanya kepadanya: Apakah kemunafikan yang kamu maksudkan? Ia menjawab: ketika kami berada di sisimu wahai Rasulullah hati kami terasa tersentuh dan iman kami bertambah tetapi ketika kami beranjak meninggalkan anda, kami kembali mencintai anak-anak kami dan bergurau dengan istri-istri kami. Maka Nabi saw menjawab: Sungguh, seandainya kalian bisa mempertahankan kondisi kalian ketika sedang berada di sisiku secara terus menerus, tentu para malaikat akan menyalami kalian secara langsung, namun ingat wahai handzalah, setahap demi setahap.




Untuk Apa Puasa?
“Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa bersusah-susah puasa” itulah sebagian lirik lagu sambimbo yang sudah tidak asing lagi di kuping, namun hingga saat ini orang tua maupun yang muda belum dapat menjawab secara jujur pertanyaan anak ingusan ini. Mungkin karena yang bertanya adalah anak-anak sehingga mereka yang merasa dewasa tidak perlu repot-repot untuk menjawabnya bahkan lupa dengan jawabannya.
Sepuluh tahun, dua puluh tahun bahkan lima puluh tahun lebih kita telah berpuasa pada bulan Ramadhan. Apakah tujuan dari puasa itu telah kita raih? Ternyata kita hanyalah orang yang rugi, orang-orang yang tidak sadar akan tujuan berpuasa sehingga lima puluh tahun lebih kita berlayar menggunakan kapal ramadhan namun belum sampai pada tujuan berlayar yaitu meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Toh setelah Ramadhan kita kembali pada tabiat semula sebelum Ramadhan.
Jika kita ingin ke Jakarta, tentunya jakartalah tujuan kita. Dan untuk sampai pada tujuan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Berenang, naik perahu, naik kapal pelni ataupun naik pesawat. Berenang tentunya beresiko tinggi, naik perahu pun beresiko yang tentunya tidak semua orang akan melakukannya. Kalupun dengan menggunakan kapal sendiri haruslah dengan seorang nakoda yang handal sehingga orang lebih memilih menggunakan kapal pelni ataupun pesawat karena jaminan nakoda dan pilot yang mahir yang terjamin 90% keselamatan sampai di tujuan.
Lantas dimanakah posisi kita?sehingga selama ini kita berpuasa mengendarai Ramadhan untuk samapi pada tujuan belum juga terlihat pulaunya?. Ternyata kita ibarat orang yang sedang berjalan-jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang mau memberikan tumpangan lantas kita naiki mobil itu sekedar ikut rame atau terhindar dari kecapean tanpa tau tujuan pasti.
Jika lagu sambimbo tadi kita renungi dengan baik dan mencoba memberikan jawaban yang baik bagi anak-anak yang bertanya. Tentu kita akan lebih banyak bertanya pada diri dan mengetahui dimanakah keberadaan kita selama pelayaran dengan menggunakan kapal Ramadhan selam ini. Mudah-mudahan kita semua termasuk orang-orang yang tidak tersesat dan terombang ambing dalam perjalanan sehingga tujuan tanah harapan akan semakin dekat dan diraih. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar